Kamis, 16 Oktober 2014

Fiqih : 5 Hal yang menyebabkan mandi wajib


fiqih, mandi wajib
Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik
untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad saw, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal
yang berkenaan dengan mandi ( al ghuslu).
Insya Allah, Pada
kesempatan kali ini kita akan mengkaji
beberapa hal yang mewajibkan seseorang
untuk mandi ( al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara
bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu.
Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu
secara syari’at adalah menuangkan air ke
seluruh badan dengan tata cara yang khusus.
Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu
(dengan ghoin-nya didhommah) bisa
dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air
yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi ( al
ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah,
mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi [2]
dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya
khas seperti bau adonan roti ketika basah dan
seperti bau telur ketika kering, [2] birnya
memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan
mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu
syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut
disebut mani. Wanita sama halnya dengan
laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita
tidak disyaratkan air mani tersebut memancar
sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi
dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu
Sholah. [3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk
mandi adalah firman Allah Ta’ala ,
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃَّﻬَّﺮُﻭﺍ
“Dan jika kamu junub maka mandilah .” (QS. Al
Maidah: 6)
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺳُﻜَﺎﺭَﻯ
ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻭَﻟَﺎ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﺎﺑِﺮِﻱ ﺳَﺒِﻴﻞٍ
ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻐْﺘَﺴِﻠُﻮﺍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. ” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu , Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan
karena keluarnya air (mani) .” (HR. Muslim no.
343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang
menyebabkan seseorang mandi wajib adalah
karena keluarnya mani dengan memancar dan
terasa nikmat ketika mani itu keluar . Jadi, jika
mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti
ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada
kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan
ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika
mani tersebut keluar memancar dengan terasa
nikmat atau pun tidak , maka tetap
menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama. [4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi
basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai
wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi),
sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An
Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi
wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi
mendapatkan sesuatu yang basah.” [5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ,
ﺳُﺌِﻞَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻋَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ
ﻳَﺠِﺪُ ﺍﻟْﺒَﻠَﻞَ ﻭَﻻَ ﻳَﺬْﻛُﺮُ ﺍﺣْﺘِﻼَﻣًﺎ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ‏» . ﻭَﻋَﻦِ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻳَﺮَﻯ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻠَﻢَ ﻭَﻻَ ﻳَﺠِﺪُ ﺍﻟْﺒَﻠَﻞَ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻻَ
ﻏُﺴْﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ‏». ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﺃُﻡُّ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺗَﺮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
ﻏُﺴْﻞٌ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻧَﻌَﻢْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﺷَﻘَﺎﺋِﻖُ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ‏».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang
mendapatkan dirinya basah sementara dia
tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia
wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang
seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak
mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab:
“Dia tidak wajib mandi”. ” (HR. Abu Daud no.
236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam
hadits ini semua perowinya shahih kecuali
Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan [6] .
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha , ia berkata,
ﺟَﺎﺀَﺕْ ﺃُﻡُّ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓُ ﺃَﺑِﻰ ﻃَﻠْﺤَﺔَ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ –
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ، ﺇِﻥَّ
ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﺤْﻴِﻰ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ، ﻫَﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﻣِﻦْ ﻏُﺴْﻞٍ
ﺇِﺫَﺍ ﻫِﻰَ ﺍﺣْﺘَﻠَﻤَﺖْ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻧَﻌَﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﺕِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah tidak malu terhadap
kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi
jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat
air. ” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi
yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru
ada jika seseorang yang mimpi tersebut
merasakan mani tersebut keluar (dengan
syahwat) dan yakin akan hal itu.” [7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas
berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi
ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan
lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa
mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu
mendapati air (mani), baik ia merasakannya
ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama
sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia
merasakan mimpi atau tidak karena orang
yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi
ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di
sini adalah mani.” [8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun
tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﺑَﻴْﻦَ ﺷُﻌَﺒِﻬَﺎ ﺍﻷَﺭْﺑَﻊِ ﺛُﻢَّ ﺟَﻬَﺪَﻫَﺎ ، ﻓَﻘَﺪْ ﻭَﺟَﺐَ
ﺍﻟْﻐَﺴْﻞُ
“Jika seseorang duduk di antara empat
anggota badan istrinya (maksudnya:
menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-
sungguh kepadanya, maka wajib baginya
mandi. ” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no.
348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻨْﺰِﻝْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha , ia berkata,
ﺇِﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺳَﺄَﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻋَﻦِ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻳُﺠَﺎﻣِﻊُ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺛُﻢَّ ﻳُﻜْﺴِﻞُ ﻫَﻞْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞُ
ﻭَﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ ﺟَﺎﻟِﺴَﺔٌ. ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ - ‏« ﺇِﻧِّﻰ ﻷَﻓْﻌَﻞُ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺛُﻢَّ ﻧَﻐْﺘَﺴِﻞُ ‏».
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang
laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun
tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya
wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu
sedang duduk di samping, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini
(yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun
tidak keluar mani, kemudian kami pun
mandi. ” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam
bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada
jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar
mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub
karena berhubungan badan dengan istrinya,
maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap
sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu
Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari. [9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di
atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi
tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani.
Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria
telah berada dalam kemaluan wanita, maka
ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk
mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat
perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan
pendapat ialah pada beberapa sahabat dan
orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu
terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa
meskipun tidak keluar mani ketika hubungan
badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang
pernah kami sebutkan.” [10]
Ketiga : Ketika berhentinya darah haidh dan
nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha , Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata pada Fathimah binti Abi
Hubaisy,
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻗْﺒَﻠَﺖِ ﺍﻟْﺤَﻴْﻀَﺔُ ﻓَﺪَﻋِﻰ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﺩْﺑَﺮَﺕْ
ﻓَﺎﻏْﺴِﻠِﻰ ﻋَﻨْﻚِ ﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﺻَﻠِّﻰ
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu
meninggalkan shalat. Apabila darah haidh
berhenti, hendaklah kamu mandi dan
mendirikan shalat .” (HR. Bukhari no. 320 dan
Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya
darah haidh tidak ada perselisihan di antara
para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah
dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui
jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat
ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya
mandi ketika berhenti dari darah nifas.” [11]
Keempat : Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam
hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu ,
ﺃَﻧَّﻪُ ﺃَﺳْﻠَﻢَ ﻓَﺄَﻣَﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ
ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞَ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﻭَﺳِﺪْﺭٍ
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk
mandi dengan air dan daun sidr (daun
bidara) .” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi
no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di sini
berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah
ushul, hukum asal perintah adalah wajib. [12]
Ulama yang mewajibkan mandi ketika
seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad
bin Hambal dan pengikutnya dari ulama
Hanabilah [13] , Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull
Mundzir dan Al Khottobi[14] .
Kelima : Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini
ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya
orang yang hidup wajib memandikan orang
yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama
menyatakan bahwa memandikan orang mati di
sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika
sebagian orang sudah melakukannya, maka
yang lain gugur kewajibannya. [15] Penjelasan
lebih lengkap mengenai memandikan mayit
dijelaskan oleh para ulama secara panjang
lebar dalam Kitabul Jana’iz , yang berkaitan
dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit
di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan
kepada para wanita yang melayat untuk
memandikan anaknya,
ﺍﻏْﺴِﻠْﻨَﻬَﺎ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﺃَﻭْ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻦَّ
ﺫَﻟِﻚَ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﻭَﺳِﺪْﺭٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang
dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima
kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu
dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur
barus (wewangian). ” (HR. Bukhari no. 1253
dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal
perintah adalah wajib. Sedangkan tentang
masalah ini tidak ada dalil yang
memalingkannya ke hukum sunnah
(dianjurkan). Kaum muslimin pun telah
mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai
saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap
muslim yang mati, baik laki-laki atau
perempuan, anak kecil atau dewasa, orang
merdeka atau budak, kecuali jika orang yang
mati tersebut adalah orang yang mati di medan
perang ketika berperang dengan orang kafir.
[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena
keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena
keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka
ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun
jika ia belum memiliki ruh, maka tidak
dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh
adalah jika kandungannya telah mencapai
empat bulan , sebagaimana hal ini terdapat
dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu ….” [17]
Sumber :
Fiqih sunnah
Muslim.or.id