Islam
sangat mengutamakan kesucian (thaharah). Allah sering berfirman “Innallaha
yuhibbul mutathahhiriin (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
mensucikan diri)”. Bahkan, termasuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mula-mula
diturunkan ialah “Wa tsiyaabaka fathahhir (Dan sucikanlah pakaianmu)”. Nabi
saw bersabda “Ath-thuhuuru syathrul iimaan (Kesucian itu separuh iman)”.
Kesucian yang dimaksud mencakup kesucian fisik dan kesucian jiwa.
Karena
sedemikian pentingnya kesucian ini pulalah, Allah mempersyaratkan keadaan
"suci"dalam pelaksanaan berbagai macam ibadah seperti sholat.
Bahkan karena saking pentingnya masalah kesucian ini, buku-buku Fiqih Islam
pasti selalu diawali dengan bab Bersuci (Thaharah).
Berikut
ini beberapa pengetahuan mendasar mengenai Fiqih Bersuci (Thaharah).
Air
(Miyah)
Macam-macam air :
1.
Air
muthlaq : air hujan, air salju (air es), embun, air laut, air zamzam, air
yang berubah sifat karena lama berada ditempatnya, karena tempatnya, atau
karena bercampur dengan sesuatu yang biasanya sulit dipisahkan darinya.
Hukumnya : suci dan mensucikan.
2.
Air
musta’mal, yaitu air bekas wudhu atau mandi. Hukumnya sama dengan air
muthlaq.
3.
Air
yang bercampur dengan sesuatu yang suci (seperti sabun dsb). Hukumnya suci
dan mensucikan selama masih mempertahankan sifatnya sebagai air muthlaq.
Adapun jika telah keluar dari kemuthlaqannya maka hukumnya adalah suci tetapi
tidak mensucikan.
4.
Air
yang terkena najis. Jika terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifatnya
(bau, warna, rasa) maka tidak boleh digunakan untuk bersuci. Tetapi jika
tidak terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifat tersebut maka
hukumnya tetap suci dan mensucikan.
Sisa minuman (al-su’r) :
1.
Jika
yang meminum adalah manusia, maka air tersebut tetap suci.
2.
Jika
yang meminum adalah hewan yang dagingnya boleh dimakan, maka air tersebut
tetap suci.
3.
Jika
yang meminum adalah bighal, kuda, dan binatang buas, maka air tersebut tetap
suci.
4.
Jika
yang meminum adalah kucing, maka air tersebut tetap suci.
5.
Jika
yang meminum adalah anjing dan babi, maka air tersebut menjadi najis.
Najis
(Najasah) dan Cara Mensucikannya
Yang termasuk najis :
1.
Bangkai,
kecuali bangkai manusia, bangkai ikan dan belalang, bangkai dari hewan yang
tidak memiliki darah yang mengalir (semut, madu, dsb), tulang, tanduk, kuku,
rambut, dan bulu.
2.
Darah,
meliputi darah yang mengalir dan darah haidh / nifas.
3.
Daging
babi.
4.
Muntahan
manusia.
5.
Air
kencing dan tinja manusia.
6.
Wadi
: air berwarna putih kental yang keluar mengiringi kencing.
7.
Madzi
: air berwarna putih yang keluar ketika sedang melamunkan senggama atau
sedang bercumbu.
8.
Mani
: air berwarna putih kental yang keluar disertai rasa nikmat dari kemaluan.
Hukumnya diperselisihkan, namun yang lebih kuat adalah bahwa mani itu suci.
Akan tetapi dianjurkan untuk membasuhnya jika masih basah dan mengeriknya
jika telah kering.
9.
Kotoran
dan air kencing dari hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan.
10. Jallaalah : hewan yang biasa memakan
sesuatu yang najis. Tidak lagi dianggap najis setelah sekian lama dijauhkan
dari makanan yang najis sehingga diyakini telah suci kembali.
11. Khamr. Menurut jumhur hukumnya najis.
Akan tetapi terdapat pula yang mengatakan bahwa khamr itu suci. Mereka
mengatakan bahwa kenajisan khamr sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
adalah najis maknawi.
12. Anjing.
Cara mensucikan najis :
dengan menghilangkan seluruh sifat najis
(bau, warna, dan rasanya) dari benda yang ingin disucikan. Apabila terdapat
sifat yang sangat sulit untuk dihilangkan (seperti warnanya) maka hal itu
dimaafkan. Untuk benda yang dijilat oleh anjing maka cara mensucikannya ialah
dengan membasuhnya tujuh kali dimana yang pertama dicampur dengan tanah.
Adapun kulit, maka ia menjadi suci dengan cara disamak.
Wudhu
Tujuan wudhu : menghilangkan hadats
kecil.
Fardhu-fardhu (rukun-rukun) wudhu :
1.
Niat
: tidak usah dilafalkan.
2.
Membasuh
wajah satu kali.
3.
Membasuh
kedua tangan sampai sikut.
4.
Mengusap
kepala, bisa dengan salah satu dari tiga cara :
5.
Mengusap
kepala seluruhnya.
6.
Mengusap
diatas serban saja.
7.
Mengusap
diatas ubun-ubun dan serban.
8.
Membasuh
kedua kaki sampai mata kaki.
Sunnah-sunnah wudhu :
1.
Membaca
basmalah di awal.
2.
Bersiwak
terlebih dulu.
3.
Membasuh
kedua telapak tangan tiga kali di awal.
4.
Madhmadhah
(mengkumur-kumurkan air di mulut) tiga kali.
5.
Istinsyaq
(memasukkan air kedalam hidung ) kemudian istintsar (menghembuskan air dari
dalam hidung) tiga kali.
6.
Menyilang-nyilang
jenggot.
7.
Menyilang-nyilang
jari-jemari.
8.
Menigakalikan
basuhan.
9.
Mendahulukan
bagian tubuh sebelah kanan.
10. Menggosok dengan tangan (bersamaan
dengan lewatnya air ataupun sesudah lewatnya air).
11. Muwaalaah (segera secara
berturut-turut).
12. Mengusap kedua telinga.
13. Memperluas cahaya dengan mengusap lebih
dari bagian yang wajib.
14. Hemat dalam memakai air.
15. Berdo’a selama berwudhu hanya dengan
do’a yang diajarkan oleh Nabi saw.
16. Berdo’a sesudah berwudhu.
17. Sholat dua raka’at sesudah berwudhu.
Yang membatalkan wudhu :
1.
Yang
keluar dari qubul dan dubur : buang air kecil, buang air besar, buang angin,
mengeluarkan madzi, mengeluarkan wadi.
2.
Tidur
nyenyak (lelap) tidak dengan tetapnya pinggul pada tanah.
3.
Hilang
akal : karena gila, pingsan, mabuk, ataupun obat, baik sedikit ataupun
banyak.
4.
Menyentuh
kemaluan tanpa penghalang.
Hukum
Mengusap
1.
Mengusap
sepatu (khuff) dan kaos kaki boleh dilakukan sebagai ganti atas membasuh
kedua kaki, dengan syarat bahwa sepatu atau kaos kaki tersebut mulai dipakai
ketika orang yang memakai dalam keadaan tidak berhadats. Mengusap ini boleh
dilakukan dalam jangka waktu sehari semalam bagi yang muqim dan tiga hari
tiga malam bagi musafir.
2.
Apabila
seseorang memiliki luka yang tidak boleh dibasuh maka hendaknya ia mengusap
lukanya tersebut. Apabila mengusap langsung pada luka juga tidak boleh, maka
hendaklah ia mengusap pada pembalutnya.
Tayammum
Sebab-sebab
diperbolehkannya tayammum :
1. Jika kita tidak mendapatkan
air, atau mendapatkan akan tetapi tidak cukup untuk thaharah.
2. Jika kita sedang
mengalami luka atau sakit, dan dikhawatirkan bahwa jika kita menggunakan air
maka sakit kita akan bertambah parah atau kesembuhannya akan bertambah lama,
baik kekhawatiran itu datang dari tajribah (pengalaman) ataupun melalui
keterangan ahlinya (dokter).
3. Jika airnya amat
dingin menggigit, dan kita amat yakin bahwa berbahaya jika kita menggunakan
air tersebut, dengan syarat bahwa kita tidak mampu memanaskannya meskipun
dengan cara mengupah, atau kita sangat kesulitan untuk mendapatkan air yang
lebih hangat.
4. Jika ada air di
tempat yang tidak jauh, namun jika kita keluar mengambilnya maka jiwa kita,
kehormatan (‘irdh) kita, atau harta kita menjadi terancam. Termasuk dalam
kategori ini adalah jika diantara tempat kita dan tempat air terdapat sesuatu
yang sangat kita takuti, seperti musuh, perangkap, ranjau, atau binatang
buas.
5. Jika ada air di
tempat yang tidak jauh, namun kita tidak mampu mengambilnya karena tidak
memiliki alat untuk mengambilnya, seperti tali, timba, dsb.
6. Jika air yang
ada lebih dibutuhkan untuk minum, termasuk didalamnya untuk diminum oleh
hewan; atau lebih dibutuhkan untuk memasak makanan; atau lebih dibutuhkan
untuk menghilangkan najis yang berat.
7. Jika ada air,
namun jika kita mengambilnya maka kita yakin akan kehabisan waktu sholat.
Cara
melakukan tayammum :
1. Niat.
2. Membaca basmalah.
3. Menyentuhkan kedua telapak tangan pada
debu.
4. Meniup kedua telapak tangan.
5. Mengusap (dengan kedua telapak tangan)
wajah kemudian kedua tangan sampai pergelangan tangan.
Mandi
Sebab-sebab diwajibkannya mandi :
1.
Keluar
mani karena syahwat. [Jika keluar mani tidak karena syahwat tetapi karena sakit,
terlalu lelah, atau kedinginan, maka tidak wajib mandi]
2.
Masuknya
kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan.
3.
Usai
haidh atau nifas.
4.
Meninggal
dunia.
5.
Orang
kafir ketika masuk Islam.
Diharamkan bagi yang sedang junub,
haidh, atau nifas :
1.
Sholat.
2.
Thawaf.
3.
Memegang
dan membawa mushaf.
4.
Membaca
Al-Qur’an.
5.
Berdiam
di masjid.
Mandi sunnah :
1.
Mandi
sebelum sholat jum’at : dilakukan antara terbitnya fajar shadiq (masuk waktu
sholat shubuh) sampai sebelum berangkat sholat jum’at. Tetapi yang lebih
disukai adalah menjelang berangkat sholat jum’at.
2.
Mandi
sebelum sholat ‘id.
3.
Mandi
setelah memandikan mayit.
4.
Mandi
sebelum ihram.
5.
Mandi
sebelum masuk Makkah.
6.
Mandi
sebelum wuquf di Arafah.
Fardhu-fardhu (rukun-rukun) mandi :
1.
Niat.
2.
Mengguyur
seluruh tubuh dengan air.
Sunnah-sunnah mandi :
Disunnahkan melakukan mandi dengan
urutan sebagai berikut :
Mulai dengan kedua tangan (sampai dengan
pergelangan tangan) tiga kali, kemudian membasuh kemaluan, kemudian berwudhu
(tanpa membasuh kedua kaki), kemudian mengguyurkan air pada kepala dengan
mengacak-acak rambut [kecuali wanita maka tidaklah harus mengacak-acak
rambutnya], kemudian mengguyur seluruh tubuh dengan menggosok-gosok badan
[jangan kelewatan pula ketiak, daun telinga, pusar, dan jari-jari kaki],
kemudian terakhir adalah membasuh kedua kaki.
Disunnahkan pula bagi wanita yang mandi
seusai haidh atau nifas untuk mengoleskan minyak wangi (dengan bantuan kapas
dan sebagainya) pada sisa-sisa darah, agar tidak tersisa bau darah yang tidak
sedap.
Hukum
Haidh, Nifas, dan Istihadhah
Haidh : darah yang keluar dari kemaluan
wanita setiap bulan.
Warna darah haidh : hitam, merah,
kuning, atau antara putih dan hitam (seperti air keruh).
Lama masa haidh :
Tidak ada nash shahih yang berbicara
mengenai lama masa haidh, baik minimalnya ataupun maksimalnya. Untuk
menentukan lama masa haidh maka pertama-tama didasarkan pada kebiasaan. Jika
tidak ada kebiasaan maka didasarkan pada ciri-ciri yang bisa digunakan
sebagai tamyiz (pembeda).
Lama masa suci :
Mengenai lama maksimal suci, para fuqaha
sepakat bahwa tidak ada batasan waktu tertentu. Adapun mengenai lama minimal
suci, para fuqaha berbeda pendapat. Namun yang paling benar ialah tidak ada
dalil yang bisa dijadikan hujjah mengenai durasi minimal suci.
Nifas : darah yang keluar dari kemaluan
wanita karena melahirkan ataupun keguguran.
Lama masa nifas :
1.
Minimal
: tidak ada batasan.
2.
Maksimal
: empat puluh hari.
Darah istihadhah : darah yang keluar
dari kemaluan wanita diluar kebiasaan, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai
haidh ataupun nifas.
Hukum-hukum bagi yang mengalami
istihadhah :
1.
Menurut
jumhur ulama, tidak wajib mandi kecuali setelah usai haidh atau nifasnya.
2.
Menurut
jumhur ulama, wajib berwudhu setiap kali akan sholat.
3.
Menurut
jumhur ulama, hendaknya membasuh darah istihadhahnya setiap sebelum berwudhu,
lalu membalutkan kapas, pembalut, dan semacamnya.
4.
Menurut
jumhur ulama, hendaknya tidak berwudhu kecuali sesudah masuk waktu sholat
yang akan dilaksanakannya.
5.
Menurut
jumhur ulama, tetap boleh berhubungan badan.
6.
Ia
dihukumi sebagaimana wanita yang suci, sehingga ia boleh sholat, berpuasa,
beriktikaf, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur’an, dan sebagainya.
Adab
Buang Hajat
1.
Hendaknya
tidak memasuki tempat buang hajat sambil membawa sesuatu yang bertuliskan
nama Allah, kecuali jika dikhawatirkan sesuatu tersebut akan hilang diambil
orang atau menjadi rusak.
2.
Hendaknya
tempat buang hajat itu terpisah dan terlihat oleh banyak orang, terutama saat
buang air besar, agar suaranya tidak terdengar atau baunya tercium.
3.
Mengucapkan
basmalah dan doa ta’awudz secara jahr ketika hendak masuk tempat buang hajat.
Doa ta’awudz tersebut ialah “Allahumma innii a’uudzu bika minal khubutsi wal
khabaa-its”. Selanjutnya hendaknya masuk ke tempat buang hajat dengan
mendahulukan kaki kiri.
4.
Tidak
berbicara apapun juga, meskipun itu dzikir (yang dilafazhkan), menjawab
salam, ataupun menjawab adzan. Hendaknya hanya berbicara seperlunya pada saat
terpaksa harus melakukannya.
5.
Hendaknya
menghormati kiblat dengan cara tidak menghadap atau membelakanginya, kecuali
jika antara dia dan kiblat terdapat penghalang.
6.
Hendaknya
memilih tempat yang sesuai sehingga najis kotoran kita tidak mudah mengenai
kita ataupun orang lain.
7.
Hendaknya
tidak buang hajat di tempat-tempat berlubang yang biasa dihuni binatang,
karena hal itu bisa menyakiti binatang yang ada didalamnya.
8.
Hendaknya
tidak buang hajat ditempat dimana manusia biasa bernaung, berkumpul, ataupun
di tempat yang biasa dilalui oleh manusia.
9.
Hendaknya
tidak buang hajat pada air (sungai) baik yang diam ataupun yang mengalir. Demikian
pula hendaknya tidak buang hajat dalam kamar mandi, kecuali jika hal itu
tidak menyebabkan kita mudah terkena najis saat mandi.
10. Hendaknya tidak buang hajat dengan
berdiri, kecuali jika kita aman dari percikan kotorannya.
11. Harus menghilangkan najis sisa kotoran
yang ada pada qubul atau dubur, dengan salah satu dari tiga : 1) dengan batu
ataupun benda padat lainnya yang suci dan dapat menghilangkan najis
(diantaranya karena mudah menyerap), disamping bukan barang yang sangat
dihormati (misalkan kertas bertuliskan Al-Qur’an), 2) dengan air, 3) gabungan
antara nomor 1 dan 2.
12. Hendaknya tidak beristinja’ dengan
tangan kanan.
13. Hendaknya mencuci tangannya selesai
istinja’ dengan tanah, air sabun, atau yang semacamnya, agar baunya yang
tidak sedap bisa hilang.
14. Hendaknya mencuci bagian di sekeliling
qubul dan dubur dengan air untuk menghilangkan rasa was-was.
15. Keluar dari tempat buang hajat dengan
mendahulukan kaki kanan lalu berdoa “Alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil
adzaa wa ‘aafaanii”.
Sunanul
Fithrah : tuntunan-tuntunan yang disyariatkan selaras dengan fithrah manusia.
1.
Khitan
: bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan tidak harus.
2.
Memotong
rambut kemaluan.
3.
Mencabut
bulu ketiak.
4.
Memotong
kumis. Boleh juga memanjangkannya asal tidak terlalu panjang.
5.
Memanjangkan
jenggot tetapi tidak boleh terlalu panjang sehingga kelihatan tidak terurus.
6.
Memuliakan
rambut dengan cara menyisir dan meminyakinya.
7.
Membiarkan
uban baik yang ada di kepala maupun yang ada pada jenggot, laki-laki ataupun
perempuan.
8.
Memakai
minyak wangi agar membuat jiwa menjadi senang dan semakin bersemangat.
|