Selasa, 10 September 2013

PENGETAHUAN DASAR ADZAN & IQAMAT




  

PENGETAHUAN DASAR ADZAN & IQAMAT

 Sejarah azan dan iqamah

Azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad SAW mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah.
Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi.
Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh orang Nasrani. Ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ke tempat itu, atau setidaknya, asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu dinyalakan, hendaklah datang menghadiri salat berjamaah.
Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi. Tetapi, beliau menukar lafal itu dengan assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jika ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad SAW juga menyetujuinya.
Asal muasal azan
Lafal azan tersebut diperoleh dari hadis tentang asal muasal adzan dan iqamah: Abu Daud mengisahkan bahwa Abdullah bin abbas berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk salat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya, "apakah ia bermaksud akan menjual lonceng itu? Jika memang begitu, aku memintanya untuk menjual kepadaku saja". Orang tersebut justru bertanya," Untuk apa?" Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat". Orang itu berkata lagi, "Maukah kamu kuajari cara yang lebih baik? Dan aku menjawab, "ya" dan dia berkata lagi dengan suara yang amat lantang:
·         Allahu Akbar Allahu Akbar
·         Asyhadu alla ilaha illallah
·         Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
·         Hayya 'alash sholah (2 kali)
·         Hayya 'alal falah (2 kali)
·         Allahu Akbar Allahu Akbar
·         La ilaha illallah
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar. Ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Asal muasal iqomah
Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan azan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau katakan jika salat akan didirikan:
·         Allahu Akbar, Allahu Akbar
·         Asyhadu alla ilaha illallah
·         Asyhadu anna Muhammadarrasullulah
·         Hayya 'alash sholah
·         Hayya 'alal falah
·         Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Salat akan didirikan"
·         Allahu Akbar, Allahu Akbar
·         La ilaha illallah
Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan. Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."[1]
Kejadian dalam hadits tersebut terjadi di Madinah pada tahun pertama Hijriah atau 622 M.[2]
Adab adzan
Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:
1.    muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;
2.    muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;
3.    muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;
4.    ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;
5.    muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;
6.    suara muazin hendaknya nyaring;
7.    muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;
8.    orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah);
9.    setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan, berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan untuknya [HR. Bukhari]).
Menjawab azan
Apabila kita mendengar suara azan, kita disunnahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang diucapkan oleh muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah", "Hayya alal falah", dan "Ashsalatu khairum minan naum" (dalam azan Subuh).
Bila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah" atau "Hayya alal falah", disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim" yang artinya "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah".
Dan bila muazin mengucapkan "Ashsalatu khairum minan naum" dalam azan Subuh, disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" yang artinya "Benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan saya termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu".
Pustaka
Kita disyariatkan untuk mengumandangkan adzan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu sholat dan untuk memanggil umat Islam agar datang ke masjid menunaikan sholat fardhu secara berjamaah. Karena itu, waktu adzan yang paling utama adalah saat masuknya waktu sholat.
Adzan hendaknya diucapkan dengan lantang. Tetapi, kalimat adzan tidak boleh diucapkan dengan cara yang berlebihan sehingga mengubah lafal dan maknanya. Sang muadzin hendaknya berwudhu terlebih dahulu, suci dari najis, dan menutup aurat (sebagaimana kalau dia melakukan sholat) serta menghadap ke kiblat. Hendaknya dia berhenti sejenak diantara kalimat-kalimat adzan.
Khusus untuk adzan shubuh, disunnahkan untuk menambahkan kalimat tatswib “Ashsholatu khairun minan naum” dua kali sesudah “hayya ‘alal falaah”. Adzan shubuh bisa dilakukan satu kali dan bisa pula dilakukan dua kali. Untuk yang dua kali, yang pertama dikumandangkan beberapa saat sebelum masuknya waktu shubuh, sedangkan yang kedua dikumandangkan saat masuknya waktu shubuh.
Bagi yang mendengar, hendaknya ia menjawab adzan persis seperti ucapan muadzin, kecuali saat muadzin mengucapkan “hayya ‘alash sholat” dan “hayya ‘alal falaah” maka jawabannya adalah “laa haula wa laa quwwata illa billah”. Demikian pula saat muadzin mengucapkan tatswib maka jawabannya adalah “shadaqta wa bararta”. Setelah adzan usai, hendaknya berdoa dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi saw. Setiap muslim yang mendengar adzan hendaknya segera bergegas menuju ke masjid dan meninggalkan aktivitasnya untuk melaksanakan sholat secara berjamaah. Segera memenuhi panggilan adzan adalah sebuah keutamaan. Meskipun demikian, sewaktu berangkat ke masjid hendaknya seseorang berjalan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Adapun iqamat, kita disyariatkan mengucapkannya setiap kali sebelum melakukan sholat fardhu secara berjamaah. Iqamat hendaknya dipercepat, tetapi tidak boleh tergesa-gesa dan harus menjaga pelafalan kalimat-kalimatnya. Seperti halnya adzan, bagi yang mendengar iqamat disunnahkan untuk menjawabnya persis seperti ihwal adzan, kecuali setelah kalimat “qad qaamatish sholat” maka jawabannya adalah “aqaamahallahu wa adaamahaa”.

PENGETAHUAN DASAR FIQIH SHOLAT




PENGETAHUAN DASAR FIQIH SHOLAT

Pengantar Sholat
Sholat menurut bahasa berarti doa. Adapun menurut peristilahan, sholat ialah ibadah tauqifi yang sudah sangat dikenal, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Perintah menegakkan sholat tersebar sangat banyak dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya, Allah berfirman : “Sesungguhnya sholat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman”. Sholat merupakan rukun Islam yang kedua, setelah syahadat. Ia adalah tiang agama. Nabi saw bersabda “Sholat adalah tiang agama. Barangsiapa menegakkannya maka ia telah menegakkan agama, dan barangsiapa meninggalkannya maka ia telah merobohkan agama”. Ia juga merupakan benteng terakhir seorang muslim, karena Islam itu memiliki simpul-simpul yang akan terurai satu demi satu dimana yang akan terakhir kali terurai adalah sholat.
Sholat telah disyariatkan sejak awal-awal munculnya Islam di Makkah. Sejak awal kenabian, yakni semenjak turunnya QS Al-Muzzammil, Nabi telah diwajibkan untuk melakukan sholat malam. Sebelum turunnya perintah sholat lima waktu, umat Islam di Makkah saat itu hanya melakukan sholat dua kali dalam sehari, yakni pada pagi dan petang saja. Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, umat Islam diwajibkan untuk melakukan sholat lima kali dalam sehari.
Diantara hikmah menegakkan sholat ialah :
1.    Sholat akan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
2.    Sholat, bersama-sama dengan sabar, merupakan sarana meminta pertolongan kepada Allah.
3.    Sholat merupakan sarana mengingat Allah di tengah-tengah kesibukan manusia dalam menjalani kehidupan dunia.
 
Ancaman bagi yang meninggalkan sholat.
Sedemikian pentingnya sholat, Allah bahkan tetap memerintahkan orang yang sakit untuk melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Bahkan orang yang dicekam ketakutan pun tetap diharuskan melakukan sholat, meskipun harus melakukannya diatas kendaraan, sambil berjalan, atau dengan tata cara khusus.
Barangsiapa meninggalkan sholat dengan keyakinan bahwa ia tidak wajib maka ia telah kafir. Adapun orang yang meninggalkan sholat hanya karena malas tetapi masih meyakini wajibnya, maka ia harus diingatkan untuk kembali melakukan sholat. Jika tidak bisa diingatkan, maka hendaknya ia dihukum dengan hukuman yang sanggup membuatnya jera dan menyadarkannya untuk kembali melakukan sholat.
Bahkan Allah juga mencela orang yang melakukan sholat tetapi lalai dalam sholatnya. Maksud lalai disini antara lain suka mengundur-undur waktu sholat sampai waktunya hampir habis (sehingga ia melakukan sholat dengan tergesa-gesa) atau bahkan habis. Lalai disini juga bisa bermakna tidak pernah khusyu’ sewaktu sholat. Raganya sholat tetapi pikirannya kemana-mana, memikirkan kesibukan dunia.
 
Syarat dan Rukun Sholat
Syarat wajibnya sholat bagi seseorang :
1.    Muslim.
2.    Berakal.
3.    Baligh.
Syarat sahnya sholat :
1.    Mengetahui bahwa waktu sholat telah masuk.
2.    Suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
3.    Badan, pakaian, dan tempat sholat suci dari najis.
4.    Menutup aurat
5.    Menghadap ke kiblat bagi yang mampu.
Rukun-rukun (fardhu-fardhu) sholat :
1.    Niat.
2.    Takbiratul ihram.
3.    Berdiri (pada sholat fardhu).
4.    Membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat.
5.    Ruku’ dengan thuma’ninah.
6.    I’tidal dengan thuma’ninah.
7.    Sujud dengan thuma’ninah.
8.    Duduk diantara dua sujud.
9.    Duduk tasyahhud akhir dan membaca tasyahhud didalamnya.
10.  Salam.
Sunnah-sunnah sholat :
1.    Mengangkat tangan pada empat tempat : saat takbiratul ihram, saat menuju ruku’, saat bangkit dari ruku’, dan saat beranjak ke rakaat ketiga.
2.    Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri.
3.    Mengucapkan doa istiftah pada rakaat pertama secara sirri.
4.    Mengucapkan amin setelah Al-Fatihah.
5.    Membaca ayat Al-Qur’an setelah Al-Fatihah, pada rakaat pertama dan kedua.
6.    Takbir intiqal.
7.    Membaca dzikir dan doa sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ketika ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk diantara dua sujud.
8.    Duduk istirahat.
9.    Tasyahhud awal.
10.  Membaca sholawat Nabi setelah tasyahhud akhir.
11.  Membaca doa sebelum salam.
12.  Membaca dzikir dan doa sesudah salam.

Waktu-waktu sholat
Waktu sholat shubuh :
Sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari.
Waktu sholat zhuhur :
Sejak tergelincirnya matahari sampai bayangan benda sama panjang dengan bendanya.
Waktu sholat ashar :
Sejak bayangan benda sama panjang dengan bendanya sampai matahari menjadi kuning. Adapun sejak matahari menjadi kuning sampai terbenamnya matahari adalah waktu yang makruh – meskipun boleh – bagi yang tidak memiliki udzur.
Waktu sholat maghrib :
Sejak matahari telah benar-benar tenggelam sampai hilangnya mega merah.
Waktu sholat isya’ :
Sejak hilangnya mega merah sampai tengah malam. Sholat isya’ sebaiknya tidak dilakukan sejak tengah malam sampai terbitnya fajar shadiq bagi yang tidak memiliki udzur, meskipun boleh.
Waktu yang paling utama :
Waktu sholat yang paling utama adalah diawal waktu, terutama sholat maghrib karena ada yang berpendapat bahwa sholat maghrib tidak memiliki waktu muwassa’ (berdasarkan hadits Jibril mengimami Nabi saw). Dikecualikan dari awal waktu sebagai waktu yang paling utama adalah sholat isya’, yang mana waktunya yang paling utama adalah tengah malam. Khusus untuk sholat zhuhur, lebih disukai diundur sampai panas matahari sedikit reda pada hari dimana panas sangat menyengat.
Waktu yang dilarang untuk sholat :
  • Tiga waktu : saat terbitnya matahari sampai naiknya matahari setinggi tombak (=tiga meter), saat istiwa’ (matahari tepat diatas kepala) [kecuali untuk sholat sunnah jum’at], dan saat matahari sedang tenggelam.
  • Sesudah sholat shubuh.
  • Sesudah sholat ashar.
 
Tempat-tempat sholat
Sholat bisa dilakukan dimana saja asalkan tempat tersebut suci. Tempat-tempat tertentu yang kita dilarang untuk sholat disitu adalah pekuburan dan WC. Sebaik-baik tempat untuk sholat fardhu bagi laki-laki adalah masjid. Apabila terdapat banyak masjid, maka yang lebih utama adalah di masjid yang jumlah jamaahnya jauh lebih banyak. Adapun sholat sunnah, secara umum lebih utama jika dilakukan di rumah (kecuali beberapa sholat seperti sholat tahiyyatul masjid yang tentu saja tidak boleh dilakukan kecuali di masjid). Sementara itu, sebaik-baik tempat sholat bagi perempuan adalah rumahnya. Tetapi, kita tidak boleh melarang para wanita untuk pergi ke masjid, selama tidak berbahaya bagi keselamatan dan keamanannya dan tidak pula mendatangkan fitnah.
Disamping itu, terdapat pula tempat-tempat khusus yang mana sholat didalamnya memiliki keutamaan yang sangat besar. Tempat tersebut adalah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Sholat Berjama’ah
Menurut jumhur ulama’, hukum sholat berjama’ah adalah sunnah muakkadah bagi setiap laki-laki muslim yang mukallaf. Sebagian ulama mengatakannya wajib bagi yang mendengar adzan dan tidak memiliki udzur.
Sholat berjama’ah lebih utama dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat dibanding sholat sendirian. Sholat berjama’ah merupakan salah satu sarana untuk memperkuat ukhuwah dan kekompakan diantara sesama muslim.
Dalam sholat berjama’ah harus ada seorang imam dan sekurang-kurangnya satu orang makmum. Seorang wanita tidak boleh mengimami makmum laki-laki mukallaf. Tetapi, seorang laki-laki boleh mengimami makmum wanita. Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’an-nya. Jika sama, maka yang lebih memahami sunnah Nabi saw. Jika sama, maka yang lebih dulu hijrah. Jika sama, maka yang lebih tua usianya. Seorang imam harus memperhatikan kondisi makmumnya. Yang dijadikan ukuran adalah makmum yang paling lemah.
Seorang makmum tidak boleh mendahului gerakan imam. Apabila imam melakukan kesalahan, maka makmum hendaknya mengingatkan. Cara mengingatkan adalah dengan mengucapkan tasbih (Subhanallah) bagi makmum laki-laki dan dengan bertepuk bagi makmum wanita. Apabila imam salah dalam bacaan Al-Qur’an maka hendaknya makmum mengingatkan dengan membacakan bacaan yang seharusnya.
Shaf yang paling utama bagi makmum laki-laki adalah shaf yang terdepan. Lebih disukai apabila yang berdiri persis dibelakang imam pada shaf pertama adalah yang paling alim, demikian seterusnya untuk beberapa orang disampingnya. Tujuannya adalah agar mudah mengingatkan imam jika salah dan agar bisa menggantikan imam jika imam batal sholatnya.

Hukum Makmum Masbuq
Makmum masbuq adalah makmum yang tidak mendapati imam melakukan takbiratul ihram. Jika makmum sempat melakukan ruku’ dengan thuma’ninah bersama imam maka ia telah mendapatkan rakaat itu. Selesai imam mengucapkan salam, makmum langsung berdiri melanjutkan sisa rakaat yang belum ia kerjakan.

Sujud Sahwi dan Sujud Tilawah
Sujud sahwi adalah sujud dua kali yang disela dengan duduk, karena melupakan sesuatu dalam sholat, baik perbuatan maupun ucapan. Lupa disini bisa kurang, lebih, atau ragu-ragu. Sujud sahwi hukumnya sunnah, bisa dilakukan sebelum atau sesudah salam. Yang paling utama adalah sebelum salam dalam kasus sebagaimana Nabi melakukannya sebelum salam, dan sesudah salam dalam kasus sebagaimana Nabi melakukannya sesudah salam, sedangkan dalam kasus-kasus yang lainnya kita boleh memilih antara sebelum salam dan sesudah salam.  Perlu diperhatikan bahwa jika sujud sahwi dilakukan sesudah salam maka tidak usah ditutup dengan tasyahhud ataupun salam.
Secara lebih rinci, sujud sahwi adalah sebagai berikut :
1.    Jika sholat selesai (salam) tetapi ternyata rakaatnya masih kurang, maka sesudah salam hendaknya mengqadha’ rakaat yang belum ditunaikan. Sesudah salam, lakukan sujud sahwi.
2.    Jika sholat selesai (salam) tetapi ternyata kelebihan rakaat, maka sesudah salam lakukan sujud sahwi.
3.    Jika lupa tidak melakukan tasyahhud awal atau sunnah sholat, maka lakukan sujud sahwi sebelum salam.
4.    Jika ragu-ragu tentang jumlah rakaat maka ambillah jumlah rakaat yang lebih sedikit, lalu lakukan sujud sahwi sebelum salam.
Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan, baik didalam sholat ataupun diluar sholat, karena membaca atau mendengar ayat sajdah. Sujud tilawah hukumnya sunnah, baik didalam sholat ataupun diluar sholat. Dalam sholat, jika imam melakukan sujud tilawah maka makmum wajib mengikutinya karena imam adalah untuk diikuti. Adapun diluar sholat, yang mendengar hanya disunnahkan bersujud jika yang membaca pun bersujud.
Cara sujud tilawah adalah dengan membaca takbir dan langsung sujud, kemudian mengangkat kepala sambil bertakbir. Tidak ada tasyahhud dan tidak ada salam.

Sholat Orang yang Sakit, Orang yang Berada Diatas Kendaraan, dan Orang yang Sedang Dicekam Rasa Takut.
Orang yang sakit dan tidak bisa berdiri atau jika berdiri dikhawatirkan akan memperparah sakitnya, memperlambat sembuhnya, pusing, atau pingsan, maka dia boleh sholat dengan duduk. Jika dengan duduk pun tidak bisa, maka dia boleh sholat dengan berbaring miring ke kanan menghadap ke kiblat. Jika tidak bisa, dia boleh sholat dengan berbaring dimana telapak kakinya menghadap ke kiblat. Jika masih tidak bisa, dia boleh sholat dengan isyarat.
Bagi yang sedang berada diatas kendaraan, hendaknya sholat dengan berdiri jika mampu dan tidak menyusahkan. Jika tidak begitu, dia boleh sholat dengan duduk. Kalau bisa, hendaknya dia sholat dengan menghadap ke kiblat. Jika tidak bisa, hendaknya dia menghadap ke kiblat di awal sholatnya, selanjutnya mengikuti arah kendaraannya. Jika masih tidak bisa juga, dia boleh menghadap kemana saja sesuai dengan arah kendaraannya karena kemanapun kita menghadap maka disitulah wajah Allah.
Bagi sekumpulan orang yang sedang dicekam bahaya yang akan menyerang (misalnya dalam peperangan), mereka diperbolehkan melakukan sholat berjamaah dengan tata cara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah (sering disebut sebagai sholat khauf). Dalam kondisi bahaya yang sangat mencekam atau mengkhawatirkan, seseorang bisa pula sholat sambil berjalan atau mengendarai kendaraan.
Ini semua menunjukkan betapa pentingnya sholat itu, dan betapa tercelanya orang yang suka menelantarkan waktu sholat sehingga keluar dari waktunya atau hampir kehabisan waktunya sehingga tidak bisa melakukan sholatnya dengan tenang.

Sholat Jamak dan Sholat Qashar
Dari sisi bahasa, menjamak artinya menggabungkan sementara mengqashar artinya memendekkan. Menjamak sholat artinya menggabungkan dua sholat pada satu waktu. Sementara mengqashar sholat artinya meringkas sholat empat rakaat menjadi dua rakaat. Sholat zhuhur bisa dijamak dengan sholat ashar. Sedangkan sholat maghrib bisa dijamak dengan sholat isya’. Jamak bisa dilakukan pada waktu sholat yang pertama, disebut jamak taqdim. Jamak bisa pula dilakukan pada waktu sholat yang kedua, disebut jamak ta’khir. Adapun sholat yang bisa diqashar hanyalah sholat empat rakaat saja.
Bagi orang yang sedang bepergian, dia boleh mengqashar dan menjamak sholatnya, baik ketika masih ditengah perjalanan ataupun ketika sudah sampai di tempat tujuan sementara kita tidak berniat untuk bermukim disitu.  Khusus untuk jamak, ia bisa juga dilakukan karena hujan, sakit, atau hajat yang lazimnya sangat menyulitkan untuk tidak menjamak.

Sholat Jum’at
Sholat jum’at wajib bagi setiap laki-laki mukallaf yang muqim (tidak sedang dalam perjalanan), tidak sakit, dan tidak memiliki udzur yang dibenarkan oleh syariat. Adapun wanita dan anak-anak, mereka tidak wajib melakukan sholat jum’at. Bagi laki-laki mukallaf yang tidak diwajibkan sholat jum’at, ia bisa tetap melakukan sholat zhuhur sebagaimana hari-hari yang lain.
Sholat jum’at dilakukan dua rakaat, didahului dengan dua khutbah yang mana kedua khutbah itu disela dengan duduk sejenak. Adzan dilakukan setelah khatib mengucapkan salam. Khutbah ju’at hendaknya tidak terlalu panjang dan berbicara tentang permasalahan umat yang penting. Sementara itu, sholatnya hendaknya diperpanjang. Pada saat khutbah berlangsung, seseorang tidak boleh berbicara atau bercakap-cakap sesama jamaah. Begitu kita masuk masjid untuk sholat jum’at, kita disunnahkan untuk terlebih dulu melakukan sholat sunnah. Bila saat kita masuk ternyata khatib sudah berkhutbah maka hendaknya kita melakukan sholat sunnah dua rakaat secara singkat.
Sebelum sholat jum’at, kita disunnahkan untuk mandi. Mandi sholat jum’at bisa dilakukan semenjak masuknya waktu shubuh, tetapi yang paling utama adalah menjelang berangkat sholat jum’at. Dalam menunaikan sholat Jum’at, kita (para laki-laki mukallaf) juga disunnahkan untuk memakai pakaian yang sebagus-bagusnya dan tampil serapi-rapinya, serta memakai minyak wangi.

PENGETAHUAN DASAR BERSUCI





Islam sangat mengutamakan kesucian (thaharah). Allah sering berfirman “Innallaha yuhibbul mutathahhiriin (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri)”. Bahkan, termasuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mula-mula diturunkan ialah “Wa tsiyaabaka fathahhir (Dan sucikanlah pakaianmu)”. Nabi saw bersabda “Ath-thuhuuru syathrul iimaan (Kesucian itu separuh iman)”. Kesucian yang dimaksud mencakup kesucian fisik dan kesucian jiwa.
Karena sedemikian pentingnya kesucian ini pulalah, Allah mempersyaratkan keadaan "suci"dalam pelaksanaan berbagai macam ibadah seperti sholat. Bahkan karena saking pentingnya masalah kesucian ini, buku-buku Fiqih Islam pasti selalu diawali dengan bab Bersuci (Thaharah).
Berikut ini beberapa pengetahuan mendasar mengenai Fiqih Bersuci (Thaharah).
Air (Miyah)
Macam-macam air :
1.    Air muthlaq : air hujan, air salju (air es), embun, air laut, air zamzam, air yang berubah sifat karena lama berada ditempatnya, karena tempatnya, atau karena bercampur dengan sesuatu yang biasanya sulit dipisahkan darinya. Hukumnya : suci dan mensucikan.
2.    Air musta’mal, yaitu air bekas wudhu atau mandi. Hukumnya sama dengan air muthlaq.
3.    Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci (seperti sabun dsb). Hukumnya suci dan mensucikan selama masih mempertahankan sifatnya sebagai air muthlaq. Adapun jika telah keluar dari kemuthlaqannya maka hukumnya adalah suci tetapi tidak mensucikan.
4.    Air yang terkena najis. Jika terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, rasa) maka tidak boleh digunakan untuk bersuci. Tetapi jika tidak terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifat tersebut maka hukumnya tetap suci dan mensucikan.
Sisa minuman (al-su’r) :
1.    Jika yang meminum adalah manusia, maka air tersebut tetap suci.
2.    Jika yang meminum adalah hewan yang dagingnya boleh dimakan, maka air tersebut tetap suci.
3.    Jika yang meminum adalah bighal, kuda, dan binatang buas, maka air tersebut tetap suci.
4.    Jika yang meminum adalah kucing, maka air tersebut tetap suci.
5.    Jika yang meminum adalah anjing dan babi, maka air tersebut menjadi najis.

Najis (Najasah) dan Cara Mensucikannya
Yang termasuk najis :
1.    Bangkai, kecuali bangkai manusia, bangkai ikan dan belalang, bangkai dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir (semut, madu, dsb), tulang, tanduk, kuku, rambut, dan bulu.
2.    Darah, meliputi darah yang mengalir dan darah haidh / nifas.
3.    Daging babi.
4.    Muntahan manusia.
5.    Air kencing dan tinja manusia.
6.    Wadi : air berwarna putih kental yang keluar mengiringi kencing.
7.    Madzi : air berwarna putih yang keluar ketika sedang melamunkan senggama atau sedang bercumbu.
8.    Mani : air berwarna putih kental yang keluar disertai rasa nikmat dari kemaluan. Hukumnya diperselisihkan, namun yang lebih kuat adalah bahwa mani itu suci. Akan tetapi dianjurkan untuk membasuhnya jika masih basah dan mengeriknya jika telah kering.
9.    Kotoran dan air kencing dari hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan.
10.  Jallaalah : hewan yang biasa memakan sesuatu yang najis. Tidak lagi dianggap najis setelah sekian lama dijauhkan dari makanan yang najis sehingga diyakini telah suci kembali.
11.  Khamr. Menurut jumhur hukumnya najis. Akan tetapi terdapat pula yang mengatakan bahwa khamr itu suci. Mereka mengatakan bahwa kenajisan khamr sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an adalah najis maknawi.
12.  Anjing.
Cara mensucikan najis :
dengan menghilangkan seluruh sifat najis (bau, warna, dan rasanya) dari benda yang ingin disucikan. Apabila terdapat sifat yang sangat sulit untuk dihilangkan (seperti warnanya) maka hal itu dimaafkan. Untuk benda yang dijilat oleh anjing maka cara mensucikannya ialah dengan membasuhnya tujuh kali dimana yang pertama dicampur dengan tanah. Adapun kulit, maka ia menjadi suci dengan cara disamak.

Wudhu
Tujuan wudhu : menghilangkan hadats kecil.
Fardhu-fardhu (rukun-rukun) wudhu :
1.    Niat : tidak usah dilafalkan.
2.    Membasuh wajah satu kali.
3.    Membasuh kedua tangan sampai sikut.
4.    Mengusap kepala, bisa dengan salah satu dari tiga cara :
5.    Mengusap kepala seluruhnya.
6.    Mengusap diatas serban saja.
7.    Mengusap diatas ubun-ubun dan serban.
8.    Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Sunnah-sunnah wudhu :
1.    Membaca basmalah di awal.
2.    Bersiwak terlebih dulu.
3.    Membasuh kedua telapak tangan tiga kali di awal.
4.    Madhmadhah (mengkumur-kumurkan air di mulut) tiga kali.
5.    Istinsyaq (memasukkan air kedalam hidung ) kemudian istintsar (menghembuskan air dari dalam hidung) tiga kali.
6.    Menyilang-nyilang jenggot.
7.    Menyilang-nyilang jari-jemari.
8.    Menigakalikan basuhan.
9.    Mendahulukan bagian tubuh sebelah kanan.
10.  Menggosok dengan tangan (bersamaan dengan lewatnya air ataupun sesudah lewatnya air).
11.  Muwaalaah (segera secara berturut-turut).
12.  Mengusap kedua telinga.
13.  Memperluas cahaya dengan mengusap lebih dari bagian yang wajib.
14.  Hemat dalam memakai air.
15.  Berdo’a selama berwudhu hanya dengan do’a yang diajarkan oleh Nabi saw.
16.  Berdo’a sesudah berwudhu.
17.  Sholat dua raka’at sesudah berwudhu.
Yang membatalkan wudhu :
1.    Yang keluar dari qubul dan dubur : buang air kecil, buang air besar, buang angin, mengeluarkan madzi, mengeluarkan wadi.
2.    Tidur nyenyak (lelap) tidak dengan tetapnya pinggul pada tanah.
3.    Hilang akal : karena gila, pingsan, mabuk, ataupun obat, baik sedikit ataupun banyak.
4.    Menyentuh kemaluan tanpa penghalang.

Hukum Mengusap
1.    Mengusap sepatu (khuff) dan kaos kaki boleh dilakukan sebagai ganti atas membasuh kedua kaki, dengan syarat bahwa sepatu atau kaos kaki tersebut mulai dipakai ketika orang yang memakai dalam keadaan tidak berhadats. Mengusap ini boleh dilakukan dalam jangka waktu sehari semalam bagi yang muqim dan tiga hari tiga malam bagi musafir.
2.    Apabila seseorang memiliki luka yang tidak boleh dibasuh maka hendaknya ia mengusap lukanya tersebut. Apabila mengusap langsung pada luka juga tidak boleh, maka hendaklah ia mengusap pada pembalutnya.

Tayammum
Sebab-sebab diperbolehkannya tayammum :
1.      Jika kita tidak mendapatkan air, atau mendapatkan akan tetapi tidak cukup untuk thaharah.
2.      Jika kita sedang mengalami luka atau sakit, dan dikhawatirkan bahwa jika kita menggunakan air maka sakit kita akan bertambah parah atau kesembuhannya akan bertambah lama, baik kekhawatiran itu datang dari tajribah (pengalaman) ataupun melalui keterangan ahlinya (dokter).
3.      Jika airnya amat dingin menggigit, dan kita amat yakin bahwa berbahaya jika kita menggunakan air tersebut, dengan syarat bahwa kita tidak mampu memanaskannya meskipun dengan cara mengupah, atau kita sangat kesulitan untuk mendapatkan air yang lebih hangat.
4.      Jika ada air di tempat yang tidak jauh, namun jika kita keluar mengambilnya maka jiwa kita, kehormatan (‘irdh) kita, atau harta kita menjadi terancam. Termasuk dalam kategori ini adalah jika diantara tempat kita dan tempat air terdapat sesuatu yang sangat kita takuti, seperti musuh, perangkap, ranjau, atau binatang buas.
5.      Jika ada air di tempat yang tidak jauh, namun kita tidak mampu mengambilnya karena tidak memiliki alat untuk mengambilnya, seperti tali, timba, dsb.
6.      Jika air yang ada lebih dibutuhkan untuk minum, termasuk didalamnya untuk diminum oleh hewan; atau lebih dibutuhkan untuk memasak makanan; atau lebih dibutuhkan untuk menghilangkan najis yang berat.
7.      Jika ada air, namun jika kita mengambilnya maka kita yakin akan kehabisan waktu sholat.
Cara melakukan tayammum :
1.      Niat.
2.      Membaca basmalah.
3.      Menyentuhkan kedua telapak tangan pada debu.
4.      Meniup kedua telapak tangan.
5.      Mengusap (dengan kedua telapak tangan) wajah kemudian kedua tangan sampai pergelangan tangan.

Mandi
Sebab-sebab diwajibkannya mandi :
1.    Keluar mani karena syahwat. [Jika keluar mani tidak karena syahwat tetapi karena sakit, terlalu lelah, atau kedinginan, maka tidak wajib mandi]
2.    Masuknya kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan.
3.    Usai haidh atau nifas.
4.    Meninggal dunia.
5.    Orang kafir ketika masuk Islam.
Diharamkan bagi yang sedang junub, haidh, atau nifas :
1.    Sholat.
2.    Thawaf.
3.    Memegang dan membawa mushaf.
4.    Membaca Al-Qur’an.
5.    Berdiam di masjid.
Mandi sunnah :
1.    Mandi sebelum sholat jum’at : dilakukan antara terbitnya fajar shadiq (masuk waktu sholat shubuh) sampai sebelum berangkat sholat jum’at. Tetapi yang lebih disukai adalah menjelang berangkat sholat jum’at.
2.    Mandi sebelum sholat ‘id.
3.    Mandi setelah memandikan mayit.
4.    Mandi sebelum ihram.
5.    Mandi sebelum masuk Makkah.
6.    Mandi sebelum wuquf di Arafah.
Fardhu-fardhu (rukun-rukun) mandi :
1.    Niat.
2.    Mengguyur seluruh tubuh dengan air.
Sunnah-sunnah mandi :
Disunnahkan melakukan mandi dengan urutan sebagai berikut :
Mulai dengan kedua tangan (sampai dengan pergelangan tangan) tiga kali, kemudian membasuh kemaluan, kemudian berwudhu (tanpa membasuh kedua kaki), kemudian mengguyurkan air pada kepala dengan mengacak-acak rambut [kecuali wanita maka tidaklah harus mengacak-acak rambutnya], kemudian mengguyur seluruh tubuh dengan menggosok-gosok badan [jangan kelewatan pula ketiak, daun telinga, pusar, dan jari-jari kaki], kemudian terakhir adalah membasuh kedua kaki.
Disunnahkan pula bagi wanita yang mandi seusai haidh atau nifas untuk mengoleskan minyak wangi (dengan bantuan kapas dan sebagainya) pada sisa-sisa darah, agar tidak tersisa bau darah yang tidak sedap.

Hukum Haidh, Nifas, dan Istihadhah
Haidh : darah yang keluar dari kemaluan wanita setiap bulan.
Warna darah haidh : hitam, merah, kuning, atau antara putih dan hitam (seperti air keruh).
Lama masa haidh :
Tidak ada nash shahih yang berbicara mengenai lama masa haidh, baik minimalnya ataupun maksimalnya. Untuk menentukan lama masa haidh maka pertama-tama didasarkan pada kebiasaan. Jika tidak ada kebiasaan maka didasarkan pada ciri-ciri yang bisa digunakan sebagai tamyiz (pembeda).
Lama masa suci :
Mengenai lama maksimal suci, para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan waktu tertentu. Adapun mengenai lama minimal suci, para fuqaha berbeda pendapat. Namun yang paling benar ialah tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah mengenai durasi minimal suci.
Nifas : darah yang keluar dari kemaluan wanita karena melahirkan ataupun keguguran.
Lama masa nifas :
1.    Minimal : tidak ada batasan.
2.    Maksimal : empat puluh hari.
Darah istihadhah : darah yang keluar dari kemaluan wanita diluar kebiasaan, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai haidh ataupun nifas.
Hukum-hukum bagi yang mengalami istihadhah :
1.    Menurut jumhur ulama, tidak wajib mandi kecuali setelah usai haidh atau nifasnya.
2.    Menurut jumhur ulama, wajib berwudhu setiap kali akan sholat.
3.    Menurut jumhur ulama, hendaknya membasuh darah istihadhahnya setiap sebelum berwudhu, lalu membalutkan kapas, pembalut, dan semacamnya.
4.    Menurut jumhur ulama, hendaknya tidak berwudhu kecuali sesudah masuk waktu sholat yang akan dilaksanakannya.
5.    Menurut jumhur ulama, tetap boleh berhubungan badan.
6.    Ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci, sehingga ia boleh sholat, berpuasa, beriktikaf, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur’an, dan sebagainya.

Adab Buang Hajat
1.    Hendaknya tidak memasuki tempat buang hajat sambil membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah, kecuali jika dikhawatirkan sesuatu tersebut akan hilang diambil orang atau menjadi rusak.
2.    Hendaknya tempat buang hajat itu terpisah dan terlihat oleh banyak orang, terutama saat buang air besar, agar suaranya tidak terdengar atau baunya tercium.
3.    Mengucapkan basmalah dan doa ta’awudz secara jahr ketika hendak masuk tempat buang hajat. Doa ta’awudz tersebut ialah “Allahumma innii a’uudzu bika minal khubutsi wal khabaa-its”. Selanjutnya hendaknya masuk ke tempat buang hajat dengan mendahulukan kaki kiri.
4.    Tidak berbicara apapun juga, meskipun itu dzikir (yang dilafazhkan), menjawab salam, ataupun menjawab adzan. Hendaknya hanya berbicara seperlunya pada saat terpaksa harus melakukannya.
5.    Hendaknya menghormati kiblat dengan cara tidak menghadap atau membelakanginya, kecuali jika antara dia dan kiblat terdapat penghalang.
6.    Hendaknya memilih tempat yang sesuai sehingga najis kotoran kita tidak mudah mengenai kita ataupun orang lain.
7.    Hendaknya tidak buang hajat di tempat-tempat berlubang yang biasa dihuni binatang, karena hal itu bisa menyakiti binatang yang ada didalamnya.
8.    Hendaknya tidak buang hajat ditempat dimana manusia biasa bernaung, berkumpul, ataupun di tempat yang biasa dilalui oleh manusia.
9.    Hendaknya tidak buang hajat pada air (sungai) baik yang diam ataupun yang mengalir. Demikian pula hendaknya tidak buang hajat dalam kamar mandi, kecuali jika hal itu tidak menyebabkan kita mudah terkena najis saat mandi.
10.  Hendaknya tidak buang hajat dengan berdiri, kecuali jika kita aman dari percikan kotorannya.
11.  Harus menghilangkan najis sisa kotoran yang ada pada qubul atau dubur, dengan salah satu dari tiga : 1) dengan batu ataupun benda padat lainnya yang suci dan dapat menghilangkan najis (diantaranya karena mudah menyerap), disamping bukan barang yang sangat dihormati (misalkan kertas bertuliskan Al-Qur’an), 2) dengan air, 3) gabungan antara nomor 1 dan 2.
12.  Hendaknya tidak beristinja’ dengan tangan kanan.
13.  Hendaknya mencuci tangannya selesai istinja’ dengan tanah, air sabun, atau yang semacamnya, agar baunya yang tidak sedap bisa hilang.
14.  Hendaknya mencuci bagian di sekeliling qubul dan dubur dengan air untuk menghilangkan rasa was-was.
15.  Keluar dari tempat buang hajat dengan mendahulukan kaki kanan lalu berdoa “Alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adzaa wa ‘aafaanii”.

Sunanul Fithrah : tuntunan-tuntunan yang disyariatkan selaras dengan fithrah manusia.
1.    Khitan : bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan tidak harus.
2.    Memotong rambut kemaluan.
3.    Mencabut bulu ketiak.
4.    Memotong kumis. Boleh juga memanjangkannya asal tidak terlalu panjang.
5.    Memanjangkan jenggot tetapi tidak boleh terlalu panjang sehingga kelihatan tidak terurus.
6.    Memuliakan rambut dengan cara menyisir dan meminyakinya.
7.    Membiarkan uban baik yang ada di kepala maupun yang ada pada jenggot, laki-laki ataupun perempuan.
8.    Memakai minyak wangi agar membuat jiwa menjadi senang dan semakin bersemangat.